Second Married is Not Simple


Kalau dipikir-pikir, apa sih yang paling simple dari hidup ini?

Bahkan untuk makan saja, butuh waktu dan tenaga untuk mengunyahnya. Setelah itu, tubuh kita melanjutkan tugasnya untuk mencerna, hingga dapat diserap dan tersalurkan ke seluruh tubuh. Sampai ada aturan,

"jangan tidur setelah makan."

"jangan mandi setelah makan."

"jangan makan terlalu kenyang."

Dan lain sebagainya.

Jadi, memang tidak ada yang benar-benar simple dan bisa dianggap remeh.

Begitu pula dengan menikah. Yang bahkan, menikah pertama sekali saja, jika kita mau lebih aware, tentu akan berhati-hati memilih seperti apa pasangan yang kita butuhkan. Tidak mau sembarangan memilih hanya karena kadung jadi budak cinta. Bukankah sudah banyak kuotes yang menasehati persoalan jodoh-jodohan ini?

Katanya, jodoh jangan dirisaukan. Sebab ia sudah menjadi urusan Tuhan. Memancing jodoh bukan dengan kepalsuan, nanti akan dapat yang sama palsunya. Dan lain-lain.

Konon lagi single mom seperti saya, jika berkeinginan untuk menikah, tentu saya akan mencari yang sesuai dengan kebutuhan saya.

Yang mumpuni menjadi ayah sambung,

Yang bisa bersama-sama belajar menjadi hamba Tuhan yang baik,

Yang selalu bisa menasehati saya dengan lemah-lembut,

Yang takut akan Tuhan,

Yang mampu dan bertanggungjawab akan fitrahnya sebagai suami dan juga ayah.

Sudah pasti, yang bisa menerima saya dan anak-anak saya SATU PAKET. Jadi tidak hanya mencintai saya, juga mencintai anak-anak saya. Dan tidak pula harus menjadi sepenuhnya pengganti, karena bagaimanapun tidak ada yang bisa menggeser nasab ayah kandungnya, meski tidak tinggal bersama lagi.

Jadi... Begitu.

Makanya, pernikahan itu --mau berapa kali pun-- bukanlah sesuatu yang bisa di-simple-kan. Semuanya harus sesuai 'porsi'. Seperti tadi, soal makan, kita butuh waktu dan tenaga untuk mengunyah, juga aturan-aturan lain setelah makan, dan harus makan sesuai sanggupnya lambung kita. Artinya, tidak terlalu sedikit, pun tidak berlebihan.


Dalam memilih pasangan hidup juga harus sesuai 'porsi' kita. Mau muluk-muluk? Ya, silahkan. Tapi harus siap dengan konsekwensi yang datang. Apakah itu kekecewaan, atau realita yang tak sesuai dengan ekspektasi kita, dan lain-lain. Syarat dan ketentuannya berlaku, dalam hal apapun di kehidupan ini.

 

Adapun stigma-stigma yang diberikan kepada para single parents saat ini, tentu itu menjadi hal yang tidak bisa kita kendalikan. Saya tidak bisa mengendalikan lisan orang lain, ucapan dan penilaian orang lain. Saya hanya mampu mengendalikan diri saya, respon saya, emosi saya, hal-hal yang layak untuk saya dengar maupun yang tidak, saya pula yang memegang kendali penuh atas apapun keputusan dan tindakan. Apakah saya akan meladeni stigma negatif dari orang-orang atau tidak, itu ranahnya saya. Diri saya.

Beberapa kali, saya ditawarkan kenalan dengan beberapa orang. Namun sayangnya, berulang kali pula harus saya tolak karena pola yang tak cocok, dan hal-hal yang tidak sesuai lainnya. Orang-orang yang berinisiatif menjodoh-jodohkan ini, saya rasa, memang belum tahu hakikat membuka hati. Padahal jelas, prioritas utama tetaplah anak-anak. Maka apapun yang menurut mereka merupakan kekurangan yang ada pada hidup saya (seperti tidak adanya pasangan tadi), bukan sesuatu yang kurang bagi saya. Justru saya happy dan anteng saja dengan status sebagai single mom. Tidak merasa bahwa itu adalah sesuatu yang mengenaskan. ✌


Ya, intinya, pernikahan itu tidak simple.

Second married itu tidak simple. Jadi, kita tidak perlu merasa yang paling tahu tentang orang lain, berupaya memberi nasehat soal jodoh idaman dan pernikahan yang bahagia. Bahagia banyak caranya, dan menikah belum tentu membahagiakan selama kamu belum bahagia dengan dirimu sendiri. Maka, lihatlah dulu ke dalam diri, resapi apa maunya, ngobrol sesering mungkin dengan diri sendiri. Tak perlu buru-buru harus banget punya pasangan, lalu merasa bahwa tidak memiliki pasangan adalah sesuatu yang mengenaskan. 

Pasangan yang baik itu akan datang kepada kita yang memang sudah siap dan sudah sesuai dengan 'porsi' kita. Nah, berarti porsi kita sebagai Hamba Tuhan, mesti kita sesuaikan dulu. Kita yang sudah belajar banyak hal, menjadikan pengalaman sebagai guru terbaik, sudah bijak dan matang dalam mengambil keputusan, yang mampu bersyukur dalam kesederhanaan. Terlebih, tidak membanding-bandingkan pasangan yang dulu dengan yang akan datang nantinya. 

Saya pribadi, mengambil pengalaman kegagalan di masa lalu sebagai 'sosok' yang mampu menuntun saya dalam mengambil keputusan dan bertindak untuk masa depan. Saya merasa tidak perlu buru-buru harus jadi sukses dan baik, karena semua itu sedang saya resapi pelan-pelan prosesnya. Mungkin lambat, tidak secepat orang lain, atau mungkin bisa oleng dan terpuruk lagi, tidak apa-apa.. Itulah proses. Dari proses itu, jika mau diamati baik-baik, kita akan menemukan kiat-kiatnya.

Ibarat ketika kita makan ikan, jika terburu-buru, tentu akan terasa tulang-tulang ikan yang ikut masuk ke tenggorokan kita. Tidak enak, bukan?

Begitupula halnya berproses, kita akan sangat hati-hati mencubit sisi-sisi badan ikan yang akan kita suapi ke dalam mulut kita, perlahan. Hingga tidak ikut di dalamnya tulang-tulang ikan masuk ke tenggorokkan kita. Apa jadinya, jika makanan yang masuk ke dalam mulut kita adalah makanan yang disuapi orang lain? Belum tentu akan se hati-hati itu memilah dan memilih.

Itu sebagai analoginya, jika kita terlalu mengikuti apa kata orang. Stigma apapun yang di-label-i pada kita--single parents--itu sejatinya bukanlah kita. Kita tetap Hamba Tuhan yang harus taat. Syarat taat bukan HARUS punya pasangan. Sebegitu adilnya Tuhan, hingga urusan status, latar belakang, dan masa lalu-pun tidak menjadi persoalan selama kita mau taat.

Ya, sudah. Taat pada Tuhan saja, ikuti kehendak-Nya saja. Jalani apa yang sudah Dia 'sajikan' untuk kita 'makan'. Jangan lupa baca doa dan makan yang baik dan benar.


Be Wise

Be Mindful

Be 'YOU'



-- Yolanda --






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Untuk Anakku #2

Surat Untuk Anakku #1