Biarkan Musuhmu Menang!

Sore tadi, selepas dari pasar, aku mengambil jeda sesaat untuk duduk mengecek kembali belanjaan apa saja yang sudah terbeli, dan yang lupa dibeli. Isi dompet lebih banyak dipenuhi oleh kertas-kertas daripada uang. Hahaha! Ya, karena sebelum belanja, aku harus menulisnya dulu di kertas kecil. Dan kertas kecil-kecil itu sudah memenuhi isi dompet, saking banyaknya mencatat-catat daftar belanjaan. Kadang yang mau dibelanjakan itu hanya empat item, tapi entah kenapa tidak enak rasanya jika tidak ditulis.

Duduk sejenak di saung samping rumah, sambil mencoba hitung berapa pengeluaran hari ini, apakah ada yang lebih atau justru kurang uang kembaliannya. Fokusku terdistraksi dengan notifikasi yang bolak-balik bunyi di handphone sejak tadi. 

Tenyata, cukup banyak isinya. Hampir seperti kertas-kertas yang ada di dalam dompet.

Notifikasi ini sebenarnya tidak penting. Karena isinya, ya, masih seputar orang-orang yang mencoba stalking akun-akun sosial mediaku dari postingan lawas. Bahkan dari tahun 2012-an. Notifikasi itu masuk karena mereka 'mungkin' tidak sengaja menekan tombol 'like' . Hehehe..


Ini sudah 2023, kenapa masih belum pada move on? 

 

Aku sudah jauh beranjak dari kubangan itu, membiarkan bagaimana para jumawa menebar ceritanya. Menjadi yang paling menang atas egonya. Bahkan, sudah tidak ingin bertemu sapa dalam momen apapun. Situasi melesat maju dengan sangat stabil, tapi para musuh masih jalan di tempat dengan desas-desusnya sendiri . Ini cukup absurd sih.. Di mana, orang-orang yang sudah memenangkan petarungan, sudah merayakan euforia atas kemenangan itu, namun belum bisa beranjak karena sendalnya masih tersangkut di masa lalu. Hehehe.. 

Begitulah oknum Hamba Tuhan, hatinya masih dengki atau kurang puas, entahlah. Hidupku tidak kupakai untuk memikirkan nasib musuh. Ada hal lain yang lebih penting daripada mereka.

Semestinya mereka sudah senang, bahkan jauh lebih senang, seperti saat mereka menjatuhkan dan membiarkanku dalam kubang itu, tidak dihiraukan apalagi ditolong, justru malah menggali lubang kubangan itu lebih dalam. Lalu tampil seolah-seolah sebagai yang sangat menolong, dan menceritakan ke alam semesta bahwa aku tidak mau ditolong. Dan wajah mereka seakan-akan sangat prihatin dengan nasibku saat itu yang semakin lama semakin tenggelam tertutup lumpur pekat. Semakin dalam semakin pekat..

Hingga, katanya, tangan mereka sudah tidak bisa meraih tanganku yang semakin tertutup lumpur. Mereka berlalu dengan topeng kebahagiaan tak terhingga, karena mereka sudah memastikan bahwa aku sudah musnah, tidak akan mampu muncul di permukaan. Punggung mereka satu persatu menjauh dari kubangan, tempat mereka membuangku layaknya sampah bangkai. Sepanjang jalan, waktu berlalu, tahun berganti, cerita yang mereka sebarkan masih sama;

"Yolanda tidak mau ditolong! Ego sekali dia. Tidak memikirkan nasib anaknya. Dinasehati untuk naik dari kubangan itu, dia tetap saja tidak mau. Padahal pertolongan kami ini sangat amat tulus ikhlas.. Kami cukup sedih melihat nasibnya, keras kepalanya itu tidak ada yang bisa kendalikan.... Lihatlah, kami yang tulus ini tidak diperdulikannya.."


Kalimat yang dirapal berulang-ulang, desebarkan kesana-sini. Mungkin hampir setiap bertemu makhluk yang hidup di muka bumi ini, akan mereka katakan ceritakan kisah mereka sebagai yang paling tulus, paling ikhlas.


Selama hampir 4 tahun, aku mencoba bangkit sendiri, meraih sisi tanah yang keras untuk bertumpu dan menuju keluar ke permukaan. Terkadang harus jatuh lagi, tanah keras itu tidak begitu kuat menopang berat badanku saat naik ke permukaan, dengan tubuh yang penuh lumpur pekat, yang juga tak kalah berat bebannya. 

Selama hampir 4 tahun, kucoba membersihkan lumpur pekat itu perlahan. Sebagian sudah kadung terlanjur masuk ke pori-pori kulitku, membuat jejak iritasi di sana. Pedih saat disapu air, dan terasa tidak nyaman ketika terpapar sinar matahari. Sebagian tubuhku luka terkena gores tanah keras, saat kucoba merangkak dan bangkit dari cengkraman lumpur pekat itu. Susah payah kumenyembuhkannya. Ketika ada luka yang sudah mulai mengering, harus kembali tegores terkena kerikil tajam.

Selama hampir 4 tahun, aku kembali berjalan dengan apa adanya; dengan sisa-sisa warna lumpur yang mengering di pakaianku, luka iritasi, luka gores, dan gurat wajah yang mulai menua. Jelek sekali. Kembali kuraih anak-anakku, mendekap mereka dengan kotornya tubuhku. Kuajak mereka pergi, menuju jalan yang sudah kubuatkan jejak-jejak tapak yang akan kami lalui bersama. Meski terkadang tersesat, dan mengambil jeda untuk istirahat, dan berjalan lagi mengikuti arah jejak-jejak itu.

Selama 4 tahun pula, kulihat punggung para musuh, masih bergoyang merayakan kemenangan diujung jalan sana. Sesekali menoleh ke arahku, tapi sudah kupastikan aku dan anak-anakku tidak akan menuju bahkan melewati jalan mereka. Sepertinya mereka sangat risau, tidak mampu berjalan lebih jauh, karena sendalnya tertinggal di belakangku;

Di kubangan yang sudah jauh kutinggalkan bayangannya..


Sampai hari ini, mereka masih menoleh ke arah sini. Aku cukup membalasnya dengan senyum lega. Sebab, aku sudah berhasil meninggalkan kubangan itu, perjalananku sudah cukup jauh, bertemu dengan banyak orang-orang baru di persimpangan, dicintai dan diterima dengan kasih sayang. Aku punya support system yang baru, yang tidak pernah terjamah dengan cerita bualan mereka.

Iya, mereka yang sampai hari ini masih suka stalking

.

.

.

Be wise

Be mindful

Be 'YOU'


-- Yolanda --

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Untuk Anakku #2

Surat Untuk Anakku #1

Second Married is Not Simple