Mengapa Kita Tidak Perlu Membalas Luka Dengan Luka ?

Kamu mungkin pernah merasakan, ujian kehidupan yang datang melalui manusia. Entah itu dari orang lain maupun orang-orang yang justru kamu cintai. Melalui mereka yang memperlakukan kamu tidak semestinya 'manusia', perbuatannya, perkataannya, atau apapun itu yang pada akhirnya meninggalkan banyak luka dihatimu. Mungkin, diantara mereka, ketika melakukannya, esoknya menyadari dan segera meminta maaf padamu. Bisa saja ketika itu kamu akan dengan sangat berlapang dada memaafkannya. Namun, bagaimana jika 'luka' itu kamu terima justru dari orang-orang terdekatmu, secara berulang-ulang?

Haruskah kamupun turut membalasnya dengan perlakuan yang sama?

Misal, jika kamu dihina-hina, harga dirimu diinjak-injak, apakah kamu pantas membalas dengan hinaan yang sama? Atau memilih membalasnya dengan sesuatu yang lebih luka?


Sini, kita duduk dulu. Tarik nafasmu, keluarkan perlahan. Lakukan berulang sambil mengulang-ulang mantra ini:

"Wahai Allah yang Maha Penyayang.. Rangkul hatiku, rangkul hatiku, jangan biarkan hatiku terluka hanya karena makhluk. Bantu aku lepaskan luka yang baru saja menoreh hatiku, Ya Rabb.."


Kuberitahu padamu, mengapa kita tidak perlu membalas luka dengan luka?

Karena jika kamu membalasnya, itu berarti kamu 11-12 dengan si pemberi luka. Saat kamu berbalik melukai, atau bahkan mengata-ngatai, justru lukamu malah semakin menjadi-jadi. Luka itu sesuatu yang tidak bisa kita hindari. Namun kita punya kuasa untuk mengontrol diri kita sendiri, bagaimana kita merespon luka itu. Ingin menjadi pemberi luka, atau memilih menerimanya dengan lapang dada dan memaafkannya?

Karena jika kamu membalasnya, ketenangan sulit di dapat jika hatimu masih didominasi oleh dendam yang membara. Pun, malah semakin banyak kamu menyerap emosi negatif yang bisa membuat kamu malah menjadi ‘toxic’ terhadap orang lain, sebagai wujud pelampiasan pada orang yang tidak bersalah.

Kecenderungan menyimpan emosi negatif, dikhawatirkan akan menjauhkan kamu dari banyak sisi-sisi positif dalam hidup ini. Atau bahkan, dirimu yang tadinya diposisi sebagai orang yang terdzalimi malah menjadi orang yang dzalim, terutama dzalim terhadap dirimu sendiri.

Memilih untuk 'memaafkan’ adalah solusi terbaik. Meski kita semua tau, itu adalah hal yang sangat sulit. Terlebih jika pada banyak kesempatan, kita terpaksa harus bertatap muka dengan si pemberi luka Urusan mengikhlaskan luka itu, memang tidak mudah. Apalagi memaafkan pelakunya. Namun, memilih untuk diam dan tidak membalasnya, akan menaikkan kasih sayang Tuhan kepadamu. Memaafkan dan mengikhlaskan juga tidak perlu terburu-buru. Tak apa perlahan-lahan, sesekali jika sakit hati itu mucul lagi, akuilah kehadirannya, dan belajarlah dengan kesadaran akan hadirnya perasaan sakit tersebut. Lalu, kembalikan hatimu pada rasa damainya memaafkan dan mengikhlaskan.
InsyaAllah..


(ditulis dari diri sendiri untuk diri sendiri)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Untuk Anakku #2

Surat Untuk Anakku #1

Second Married is Not Simple